
Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak wanita karier di Indonesia yang mendambakan pria provider — pria yang dianggap mampu menafkahi, bertanggung jawab, dan memberi rasa aman secara finansial.
Fenomena ini bukan sekadar tren media sosial, melainkan sebuah arus besar yang dipengaruhi:
- Standar sosial yang masih kuat melekat - “Pria sejati harus bisa menafkahi” atau “Kodratnya wanita itu ya diprovide”
- Tekanan keluarga dan budaya - “Jangan pilih pria yang ekonominya di bawahmu”
- Narasi influencer & publik figur yang sering menampilkan gaya hidup berkelas
- Aspirasi pribadi wanita karier yang ingin kehidupan lebih nyaman, stabil, dan terjamin
Impian ini sangatlah valid. Setiap perempuan berhak mendambakan pasangan sesuai pilihannya.
Masalah muncul ketika impian tersebut tidak lahir dari diri mereka sendiri, melainkan hasil bentukan eksternal yang tidak disadari.
Impian Sama, Elemen Berbeda
Sumber: Pexels
Selama 2 tahun melakukan sesi coaching khusus wanita karier di area love & life, saya bertanya ke klien berusia 25-35 tahun tentang pasangan ideal versi mereka. Setidaknya, 3 dari 5 orang menjawab: “Pria provider.”
Menariknya, ketika digali lebih dalam, definisinya ternyata sangat beragam dan personal:
- Ada yang mengartikan provider sebagai pria yang “selalu hadir secara emosional”
- Ada yang menekankan pada “pria yang rutin memberi nafkah nominal tertentu”
- Ada yang fokus pada “pria yang siap membiayai seluruh gaya hidupnya”
- Ada juga yang ingin “pria yang bisa menjadi safety net, meski Ia sendiri punya income besar”
Faktor yang membedakan impian ini antara satu perempuan dan lainnya bisa meliputi:
- Definisi → apa arti “provider” bagi dirinya?
- Tujuan → untuk apa Ia ingin di-provide? Status? Rasa aman? Kebebasan?
- Kematangan → apakah Ia siap menerima dan menyeimbangkan peran itu?
- Tuntutan → berapa “cukup” bagi dirinya?
- Tahap hidup → masih single, baru berkarier, atau sudah mapan?
- Motivasi emosional → ingin dicintai, divalidasi, atau dibanggakan?
- Pengalaman masa lalu → trauma, luka batin, atau cerita keluarga yang diwariskan?
Dengan kata lain: impian yang tampak sama di permukaan, bisa jadi punya pondasi yang sangat berbeda.
Seorang klien pernah berkata bahwa Ia menginginkan pria provider. Saat digali:
- Baginya provider = pria bertanggung jawab dan menafkahi
- Ketika ditanya, “Berapa jatah per bulan yang kamu bayangkan?”, Ia menjawab 50 juta/bulan
- Lalu saya melanjutkan, “Jika pria itu bertanggung jawab, menafkahi, tapi jumlahnya hanya 5 juta/bulan (baru memenuhi 10% dari apa yang Ia idamkan), apakah kamu mau?”
- Ia pun takut-takut, lalu menjawab lirih: "Tidak..."
Artinya, baginya definisi provider bukan sekadar “asal dinafkahi”, melainkan “dinafkahi dengan angka minimal X juta per bulan.”
Dan angka ini tidak universal, sangat kustom. Wanita A dan wanita B bisa punya definisi berbeda, meski sama-sama menyebut “provider”.
Lapisan yang Belum Terbuka
Sumber: Pexels
Pertanyaan berikutnya yang jarang sekali tersentuh adalah:
- Mengapa 50 juta?
- Mengapa bukan 5 juta, atau 100 juta?
- Dari mana standar itu muncul?
- Apa cerita, pengalaman, atau ketakutan yang membuat angka itu jadi “harga mati”?
Jika ditelusuri, jawabannya hampir selalu bermuara pada tiga hal:
- Mental blocks → cara pikir yang dibentuk lingkungan, media, keluarga
- Emotional blocks → kebutuhan validasi, rasa takut ditinggalkan, luka emosional lama
- Life blocks → pengalaman hidup, pola relasi keluarga, trauma yang diwariskan
Inilah lapisan terdalam yang nyaris belum pernah disentuh oleh motivator, influencer, bahkan public figure yang bicara tentang relationship & self-growth.
Sebaliknya, beberapa narasi mereka justru sering mempertebal blok-blok ini, karena hanya berhenti di permukaan: “Carilah pria mapan”, “Jangan mau sama yang nggak bisa provide”, “Naikkan standarmu.”
Peran Coaching: Dari Permukaan ke Inti
Sumber: Pexels
Di sinilah letak perbedaan mendasar. Alih-alih menghakimi impian mereka atau sekadar menguatkan narasi standar sosial, coaching hadir untuk:
- Memvalidasi impian → “Impianmu valid. Kamu berhak mendambakannya”
- Membuka definisi pribadi → “Apa arti provider untukmu? Kenapa itu penting?”
- Menelusuri lapisan terdalam → “Apa yang membuatmu menetapkan angka/standar itu?”
- Memetakan pola mental, emosional, dan hidup yang selama ini tidak disadari
- Memberikan kejelasan yang membebaskan, sehingga impian bisa diwujudkan tanpa tekanan, kebingungan, atau rasa bersalah
Misi saya bukan memecah belah perempuan dengan standar baru. Sebaliknya, saya ingin merangkul dan menyatukan:
- Saya memahami impianmu, dan saya tahu itu valid
- Saya mengerti betapa beratnya kalau impian itu lahir dari standar sosial, bukan dari diri sendiri
- Saya punya kapasitas membantu memetakan keinginan terdalammu, agar impian provider bisa terwujud dengan cara yang sehat dan meringankan
Karena pada akhirnya, yang membuat hubungan langgeng bukan hanya angka, status, atau peran, tetapi kejernihan niat dan kesadaran penuh tentang apa yang benar-benar kita butuhkan.
Jadi, apa arti 'provider' versimu?
_
Artikel ini ditulis oleh Ayu Assyamsi, life coach spesialis cinta dengan pengalaman coaching lebih dari 8 tahun dan telah mempelajari dinamika romansa sejak 2013.