
“Kalau mau dapet pasangan mapan, kamu harus jadi high-value woman...”
“Cewek high-value itu harus bisa masak, jaga badan, mandiri, tapi tetap feminin...”
“Jangan jadi pick me-girl, jadilah high-value biar cowok serius datang...”
Kalimat-kalimat seperti ini semakin sering muncul di media sosial, terutama di lingkaran dating advice. Sekilas terdengar empowering, seolah memberi arah jelas bagi perempuan modern. Namun, ketika saya gali lebih dalam di ruang coaching, seringkali konsep ini justru menambah lapisan tekanan baru yang tak kalah berat dari standar sosial lama.
Narasi Baru, Beban Baru
Sumber: Pexels
Sejak kecil, perempuan sudah dibentuk oleh banyak standar:
- “Jangan terlalu banyak ambisi, nanti cowok minder...”
- “Perempuan baik-baik itu nggak boleh terlalu vokal...”
- “Kalau sudah menikah, fokus utamamu harus rumah tangga...”
Kini, dengan label high-value woman, standar itu tidak hilang. Ia hanya berganti rupa. Kali ini lebih halus, lebih estetik, tapi tetap membebani:
- Harus punya karier mapan, tapi jangan sampai mengintimidasi pria
- Harus bisa mandiri finansial, tapi jangan sampai bikin pasangan merasa tidak dibutuhkan
- Harus merawat diri, tapi jangan sampai kelihatan terlalu sibuk dengan penampilan
- Harus cerdas, hangat, lembut, feminin… semuanya sekaligus
Dengan kata lain: high-value woman seringkali hanya versi 2.0 dari “perempuan sempurna” yang sudah lama melelahkan.
Siapa yang Menentukan Value?
Sumber: Pexels
Pertanyaan krusial yang jarang ditanyakan adalah: siapa yang sebenarnya menentukan value itu?
- Apakah benar-benar lahir dari diri kita sendiri?
- Atau dari algoritma media sosial yang mempopulerkan definisi tertentu?
- Dari pengalaman masa lalu yang membuat kita takut ditinggalkan?
- Dari suara orang tua yang masih terngiang: “Pilih laki-laki yang bisa menafkahi, dan pastikan kamu cukup berharga untuk dia”?
Banyak klien saya yang akhirnya merasa makin bingung. Di satu sisi, ingin menjadi versi terbaik dirinya. Di sisi lain, tuntutan “high-value” membuatnya merasa seolah tidak pernah cukup. Selalu ada standar baru yang harus dikejar.
Ketika Empowerment Berubah Jadi Exhaustion
Sumber: Pexels
Yang tadinya dimaksudkan sebagai empowerment, perlahan berubah jadi exhaustion:
- Perempuan merasa hidupnya seperti checklist, bukan perjalanan yang organik
- Alih-alih merasa berdaya, mereka merasa terjebak dalam lomba tak berujung
- Hubungan pun kehilangan spontanitas, karena setiap interaksi selalu diukur: “Apakah ini cukup high-value?”
Padahal, nilai diri sejati tidak pernah bisa ditentukan oleh standar eksternal.
Dari “High-Value” ke “Conscious-Value”
Sumber: Pexels
Di titik inilah coaching bisa membantu. Bukan untuk menolak konsep high-value woman, tapi untuk menggeser fokus dari label luar ke nilai dalam.
- Validasi: Setiap perempuan berhak ingin dihargai, diperlakukan istimewa, dan punya pasangan yang serius. Itu sah
- Refleksi: Apa arti high-value bagimu pribadi? Apakah itu sejalan dengan nilai terdalammu, atau hanya ikut-ikutan arus?
- Clarity: Apa value yang benar-benar penting buatmu dalam hubungan? Apakah itu karier, keluarga, kebebasan, spiritualitas?
- Integrasi: Bagaimana value itu bisa kamu jalani tanpa harus menekan dirimu atau berpura-pura menjadi orang lain?
Dengan clarity ini, standar sosial apa pun—termasuk high-value woman—tidak lagi menjadi jerat. Ia bisa menjadi inspirasi, tapi bukan beban.
Kembali ke Kesadaran Diri
Sumber: Pexels
Label bisa datang dan pergi. Hari ini high-value woman, besok mungkin akan muncul istilah baru lagi. Tapi satu hal yang tidak pernah berubah: dirimu yang penuh kesadaran.
Hubungan sehat tidak pernah lahir dari mengejar standar luar, melainkan dari keselarasan dalam: ketika kamu tahu siapa dirimu, apa yang kamu butuhkan, dan bagaimana kamu ingin menjalani hidup bersama seseorang.
Menjadi high-value woman tidak lagi tentang memenuhi definisi orang lain, melainkan tentang menghargai diri sendiri. Karena pada akhirnya, value tertinggi seorang perempuan bukan ditentukan oleh algoritma, society, atau bahkan pasangannya.
Value itu ditentukan oleh dirinya sendiri.
_
Artikel ini ditulis oleh Ayu Assyamsi, life coach spesialis cinta dengan pengalaman coaching lebih dari 8 tahun dan telah mempelajari psikologi cinta dan dinamika romansa sejak 2013.