
“Dating zaman sekarang kok rasanya makin ribet ya? Buka aplikasi ketemu yang ghosting. Kenalan sama teman, eh ternyata ‘belum siap komitmen’. Sementara standar dari keluarga, society, bahkan influencer makin bikin kepala penuh. Hasilnya? Cinta terasa lebih mirip ujian ketahanan mental daripada perjalanan hati.”
Kalimat seperti ini bukan cuma keluhan sambil lalu.
Ini sudah jadi semacam lagu wajib yang saya dengar hampir setiap minggu di ruang mentoring dan coaching. Bukan satu-dua orang saja, melainkan pola yang berulang.
Faktanya, 9 dari 10 klien saya tanpa sadar sedang terjebak dalam satu pola yang sama: mereka memandang dunia dating dari kacamata scarcity — cara pandang bahwa pasangan berkualitas itu langka, rebutan, bahkan mungkin sudah punah.
Fenomena 1: Scarcity Mindset
Sumber: Pexels
Kalimat-kalimat seperti ini sering terdengar:
- “Makin ke sini dating makin susah dan makin ribet yah…”
- “Stok cowok baik udah habis apa gimana sih ini…”
- “Kapan ya aku bisa ketemu orang yang memenuhi standarku…”
Sekilas terdengar wajar, bahkan relatable. Tapi kalau ditarik lebih dalam, ini bukan sekadar curhat. Ini cermin cara pandang. Cara pandang yang tanpa sadar menempatkan cinta sebagai sesuatu yang sulit, sempit, dan hampir mustahil digapai.
Fenomena 2: Melihat Kegagalan sebagai Hambatan
Sumber: Pexels
- “Capek banget, ketemunya sama yang nggak siap komitmen terus…”
- “Cowok sekarang hobi banget ghosting ya…”
- “Hopeless nih, isinya kalo nggak mokondo ya NPD…”
Kalimat seperti ini muncul hampir otomatis setiap kali kisah cinta berakhir buruk.
Masalahnya, setiap kegagalan langsung diposisikan sebagai tembok penghalang, bukan sebagai peta petunjuk. Hasilnya? Energi habis untuk menyalahkan keadaan, sementara insight yang sebenarnya bisa membuka jalan justru tidak pernah diproses.
Inilah yang saya sebut sebagai fixed view of failure — melihat kegagalan hanya sebagai akhir, bukan jembatan menuju klarifikasi.
Fenomena 3: Maskulin vs Feminin
Sumber: Pexels
Dalam 5 tahun terakhir, ada arus narasi baru yang semakin populer:
- “Cowok itu ya harusnya provide…”
- “Aku terlalu maskulin kali ya, makanya dapetnya mokondo mulu…”
- “Cewek itu ya kodratnya jadi feminin…”
Sekilas terdengar logis, tapi sayangnya sering dipahami secara hitam-putih.
Peran maskulin dan feminin akhirnya jadi label yang mengekang, bukan dinamika yang hidup. Akibatnya, banyak perempuan menekan sisi dirinya agar “cukup feminin” supaya dapat pasangan.
Padahal, hubungan sehat lahir bukan dari peran yang dipaksakan, melainkan dari sinkronisasi peran alami dua individu.
Fenomena 4: Cinta Tulus vs Cinta Transaksional
Sumber: Pexels
Belakangan, muncul pula perdebatan soal “cinta sejati” versus “cinta yang ada hitung-hitungannya.” Seolah-olah keduanya adalah kubu yang saling bertentangan, dan kita hanya boleh memilih salah satu.
Padahal, realitas hubungan jauh lebih kompleks.
Cinta tulus dan aspek transaksional sangat bisa berjalan berdampingan. Karena kenyataannya, setiap hubungan memang punya bentuk transaksi: waktu, perhatian, bahkan energi. Bedanya, apakah transaksi itu terjadi dengan kesadaran dan keikhlasan, atau dengan tuntutan dan paksaan.
Apakah Fenomena-fenomena Ini Salah?
Sumber: Pexels
Mari kita renungkan bersama.
Semua ini punya sebab, punya akibat. Dan saya sangat memahami mengapa pola-pola ini muncul di generasi modern dating. Namun, apakah kita bisa berhenti di situ saja?
Belum tentu. Jika dibiarkan, fenomena-fenomena ini justru bisa jadi akan membelenggu: membuat hubungan terasa semakin sulit, standar makin membebani, dan cinta semakin menjauh.
Itulah sebabnya saya tidak hadir untuk menambah kubu baru atau menyalahkan pilihan yang ada. Sebaliknya, saya ingin merangkul dan menyatukan. Saya mengerti kenapa kamu ada di sisi tertentu.
Sebagai bahan refleksi diri bersama, mari kita jawab pertanyaan-pertanyaan ini:
- Mengapa aku ada di sisi ... (sebutkan sisi yang kamu pilih)?
- Apa kepentinganku?
- Apa tuntutanku?
- Apa value dan prinsip yang aku pegang?
- Apa tujuanku?
- Dan yang terpenting: apakah semua itu membantu meringankan jalanku, atau justru memberatkannya?
Seringkali, jawaban jujur hanya akan muncul ketika kita mau membuka diri: apakah ini benar-benar keinginan terdalamku, atau sekadar hasil ikut-ikutan arus?
Dengan clarity, setiap fenomena modern dating bisa dipandang dengan lebih jernih. Bukan lagi sekadar scarcity, kegagalan, atau pertarungan maskulin-feminin. Melainkan:
- Kesempatan untuk mengenal diri lebih dalam
- Ruang untuk memetakan pola batin yang selama ini tidak disadari
- Jalan untuk menciptakan hubungan yang lebih sehat, ringan, dan sesuai pilihan sadar
Karena pada akhirnya, cinta bukan tentang ribet atau hopeless.
Cinta adalah tentang kejelasan hati — yang hanya bisa lahir ketika kita berani menyelami lapisan terdalam diri kita sendiri.